Gelar Seni Rupa Anak Indonesia 2013: "Sana Sini Seni Budayaku"
5:53 PMGelar Seni Rupa Anak Indonesia 2013: "Sana Sini Seni Budayaku" |
Waktu: 29-06-2013 s/d 14-07-2013 |
di Galeri Nasional Indonesia, Jl. Medan Merdeka Timur 14, Jakarta Pusat |
Gelar Seni Rupa Anak Indonesia 2013 “Sana Sini Seni Budayaku” Menampilkan lebih dari 200 karya karya seni rupa anak pilihan Pembukaan Sabtu, 29 Juni 2013, pukul 10.30 WIB Tempat: Galeri Nasional Indonesia, Jl. Medan Merdeka Timur 14, Jakarta Pusat Diresmikan oleh: Ibu Wiendu Nuryanti, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Acara pemaren berlangsung hingga 14 Juli 2013. Workshop Seni Rupa Anak: Sabtu, 29 Juni 2013, pukul 13.00-16.00 WIB Kurator: Kuss Indarto Yuswantoro Adi Citra Smara Dewi *** Citra Smara Dewi: SENI rupa merupakan bagian integral dari kesenian yang menekankan kepada aspek visual seperti elemen bentuk, warna, bidang, garis, tekstur, cahaya, dan elemen lainnya. Merujuk pada kata seni yang dalam bahasa Inggris disebut art, sementara dalam bahasa Latin ars, yang artinya keterampilan/kepandaian, maka karya seni termasuk didalamnya seni rupa memiliki dimensi keterampilan dalam konteks yang lebih luas. Bicara tentang seni maka tak bisa lepas dari kata keindahan atau estetika, berasal dari bahasa Yunani aisth, aisthesis, yang artinya adalah pengetahuan inderawi/sensual cognition, “aesthetica … est scientia cognitionis sensitivae.” Lalu bagaimana konteks keterampilan seni rupa bagi anak-anak? Terlepas dari pengertian estetika yang kemudian berkembang menjadi lebih luas dan kontekstual dengan dinamika sosial masyarakat, setidaknya kata kunci “pengalaman inderawi” dapat dijadikan pegangan dalam menilai nilai-nilai keindahan dan kreativitas dari sebuah karya seni. Melalui pengalaman inderawi dalam melihat lingkungan yang paling dekat dengan anak-anak, seperti lingkungan keluarga, masyarakat luas bahkan dunia yang lebih luas, kita dapat melihat sejauh mana kepekaan dan daya imajinasi anak dalam melihat obyek karya seni rupa. Obyek-obyek yang tertangkap mata tidak selamanya di interpretasikan seorang anak dengan pendekatan sesungguhnya, karena daya imajinasi seorang anak sungguh tak terduga. Seorang anak kadang melukis bukan apa yang dilihat, melainkan apa yang dirasakan. Peran pendidikan dalam menanamkan kepedulian terhadap nilai-nilai budaya sangat di kalangan anak-anak sangat penting, baik pendidikan informal: keluarga, lingkungan dan masyarakat maupun pendidikan formal dalam hal ini lembaga pendidikan baik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Gelar Seni Rupa Anak Indonesia 2013 ini, sangat menarik ketika tema yang diangkat tentang “Sana Sini Seni Budayaku”, yaitu mencoba melihat sejauh mana anak-anak Indonesia menginterpretasikan atau memaknai tetang konsep budaya dalam pendekatan dunia anak-anak. Dari kategori peserta yaitu usia yang setara dengan Play grup, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, dalam lingkup pendidikan formal maupun non-formal, tim kurator melihat berbagai dimensi kultural karya seni rupa anak-anak dari berbagai wilayah yang memberikan gambaran sebuah keterwakilan. Terdiri dari wilayah provinsi Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, NTT, hingga Papua… --- Yuswantoro Adi: Esensi atawa hakikat utama sebuah pendidikan seni rupa anak sebenarnya tidak jauh beda dari perlombaan. Barangkali pembedanya hanyalah soal juara dan hadiah saja. Meskipun di pendidikan kadang ada juara dan hadiah juga. Adapun hakikat keduanya adalah ruang bermain bagi anak untuk mengembangkan dirinya lewat kesenian. Dan ruang yang baik adalah ruang luas yang terbuka; membuka segala kemungkinan. Keluasan dan keterbukaan dalam konteks pembicaraan ini ada tiga hal. Ketiganya saya sebut sebagai tiga Ang, yakni; Senang, Kembang dan Kenang. Bukan semata-mata harus menjadi pemenang. Senang. Siapapun yang mengikuti pendidikan/lomba seni rupa sudah barang tentu adalah anak yang senang menggambar pada awalnya. Tanpa modal kesenangan sebagai motivasi utama, misal, terpaksa atau dipaksa pihak lain, hanya akan menjadikan seterusnya kekeliruan dan masalah besar. Selanjutnya rasa senang itu harus terus-menerus dirawat dan dipelihara. Dengan memberi kebebasan dan keleluasaan pada anak untuk mengungkapkan kesenangannya lewat gambar, ditunjukkan contoh gambar hingga dipercaya untuk mencoba dengan tangannya sendiri menggambar dan menggambarkan adalah salah satu resep ampuh pemeliharaan rasa itu. Kembang. Ruang ini harus menyediakan alat, bahan, sarana, prasarana, fasilitas serta kesempatan agar anak bisa berkembang dan mengembangkan dirinya. Pencarian, percobaan serta eksplorasi lain harus secara berkesinambungan ada dan diadakan. Ada begitu banyak metode yang biasa saya pakai dalam kelas seni rupa anak. Karena pasti akan bertele-tele, saya tidak akan menjelaskannya secara teknis, namun akan saya bocorkan sedikit saja. Membuat gambar dengan alat, bahan dan atau cara yang tidak biasa (namun tetap dengan pertimbangan keamanan, kesehatan, kesopanan dst) akan merangsang anak untuk lebih kreatif. Kenang. Jadikanlah ruang ini sebagai sesuatu yang kelak akan terus dikenang oleh anak. Sebuah ruang yang menyenangkan, yang penuh inovasi, yang menemani perkembangan dirinya, yang ia jadikan kenangan indah hingga ia besar nanti. Artinya kita (guru/pendamping/panitia atau apalah namanya) memberi mereka sebanyak mungkin kemungkinan dalam mengolah seni. Teknik menggambar dan semacamnya tetap harus diajarkan serta di-uji coba-kan. Tetapi ingat sasaran atau tujuan utamanya bukan untuk menjadikan mereka juara atau expert. Hal ini perlu saya tegaskan agar tidak rancu dengan pendidikan formal/non formal kesenian yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Ruang ini tidak dirancang untuk mencetak seorang anak menjadi seniman kecil, melainkan menyiapkan anak untuk mencintai dan mempunyai apresiasi yang baik terhadap kesenian. Itu saja. Bahwa kelak di kemudian hari mereka (si anak tersebut) tertarik menjadi seniman/pakar/expert/ahli di bidang seni, itu berada di wilayah atau ruang yang berbeda. --- Kuss Indarto: Adakah hal yang tidak beres dalam praktik penyelenggaraan lomba lukis anak di Indonesia? Dugaan-dugaan ketidakberesan ini mengemuka dari beberapa kemungkinan dan gejala. Hal yang terasa, pertama, penyelenggaraan perlombaan lukis anak sudah mulai berpola “industrial”. Dalam pola ini, perhelatan seperti dibuat sebagai mesin yang target utamanya adalah meraup keuntungan finansial sebesar-besarnya bagi penyelenggara, atau bahkan sponsor, dengan meninggalkan visi dan misi yang humanis yang menyentuh kepentingan dan kebutuhan dunia anak-anak. Kompensasi finansial yang diberikan sebagai hadiah untuk para juara hingga jutaan rupiah secara pelahan telah mengonstruksi cara pandang publik tentang kehadiran dan target dalam keikutsertaan seorang anak dalam sebuah lomba lukis. Dugaan seperti atas, lambat laun bersambut dengan hal kedua, yakni peran sebagian orang tua yang telah bergeser perspektif pandangnya terhadap lomba lukis. Sebuah lomba lukis telah ditempatkan sebagai ajang pembuktian bagi keberhasilan orang tua yang telah memasukan anak-anaknya ke sanggar seni rupa. Kalau kalah, “Apa gunanya masuk sanggar? Gagal dong,” begitu kira-kira asumsi yang mulai berselimut di pikiran sebagian orang tua. Dan tentu saja sikap orang tua yang mulai menanamkan “mental-mau-menang-saja”, bukan mental siap kalah pada anak-anaknya yang membawa virus patologis yang negatif. Masih bertalian erat dengan dua hal tersebut, poin ketiga, peran dan sepak terjang juri lomba lukis menemui persoalan ketika otoritas dan independensinya terganggu karena hanya menjadi sekrup kecil dalam ritus industrial yang tanpa visi humanis. Pada satu sisi, juri yang sebenarnya memiliki kemampuan dan otoritas di bidangnya tak jarang seperti dipaksa untuk menjadi legitimator bagi kepentingan lomba yang industrial tersebut. Pada sisi lain, terkadang peran juri ditempatkan sebagai “pelengkap penderita” saja. KILASAN fakta dan pengalaman ihwal dunia lomba lukis anak itu kiranya bisa memberi bekal perenungan bersama. Ini, salah satunya, untuk mengembalikan porsi mendasar pada dunia anak-anak, yakni bermain. Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Namun J.B. Brooks dan D.M. Elliot dalam Human Development (1971) memberi penjelasan cukup jernih bahwa bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Praktik melukis bagi anak-anak juga bisa disikapi dalam kerangka dan konsep bermain seperti itu, yang tanpa unsur keterpaksaan saat mempraktikannya. Sehingga, melukis bagi anak-anak memang sebaiknya diposisikan sebagai bermain (play), bukan sedang bekerja (work), atau apalagi sebagai beban (drudgery). Ketika unsur bermain menipis dalam praktik seni rupa anak-anak, maka spontanitas, ekspresi, kreativitas dan dunia imajinasi akan terpinggirkan. *** sumber : copas dari indonesiaartnews |
0 comments